Selamat Datang Di Web Blog SDN Karet Tengsin 13 Pagi Jakarta Pusat

Sabtu, 22 Maret 2008

Guru di Garis Terdepan Pendidikan

Denpasar, Selasa (11 Maret 2008) -- Guru berada di garis terdepan pendidikan. Tanpa guru, sistem yang dibangun tidak akan berhasil. "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Begitu pentingnya guru dari sudut pandang kami," ungkap Wakil Presiden M. Jusuf Kalla.

Wakil Presiden Jusuf Kalla membuka secara resmi E-9 Ministerial Review Meeting ke-7 di Hotel Westin, Nusa Dua, Denpasar, Bali pada Selasa (11/03/2008) . Hadir pada pembukaan pertemuan menteri-menteri pendidikan sembilan negara berpenduduk besar adalah Mendiknas Bambang Sudibyo, Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura, dan perwakilan delegasi dari Bangladesh, Brazil, Cina, India, Indonesia, Meksiko, Mesir, Nigeria, dan Pakistan.

Dalam kata sambutannya, Wapres menyampaikan bahwa kesejahteraan suatu bangsa bergantung pada ekonomi dan teknologi. Sementara kemajuan teknologi bergantung pada pendidikan. "Pertemuan ini sangat penting. Saya setuju banyak faktor untuk mengembangkan pendidikan di dunia. Guru merupakan bagian penting dalam sistem pendidikan. Guru berada di front line pendidikan," katanya.

Kalla berpendapat bahwa dengan meningkatnya kualitas pendidikan dapat mengubah kesejahteraan. "Ekonomi mengalami perkembangan. Kalau dulu guru mengajar dengan bersepeda, sekarang sudah pakai motor. Tapi itu tetap belum cukup dan harus terus dikembangkan, " ujarnya.

Melalui pertemuan E-9, Kalla berharap sesama negara anggota dapat bertukar pengalaman dan ide. "Saya berharap pertemuan ini akan meningkatkan sistem pendidikan negara peserta melalui peningkatan kapasitas guru."

Mendiknas Bambang Sudibyo melaporkan, pertemuan E-9 diselenggarakan oleh UNESCO bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia sebagai negara tuan rumah. Pertemuan dihadiri para menteri negara anggota E-9, para pakar, jurnalis, dan peninjau dari negara berkembang.

Mendiknas menyampaikan, guru menjadi isu sentral untuk meraih tujuan EFA (Education for All) dan mencapai pendidikan yang berkualitas. "Untuk itu, Indonesia memprioritaskan pengembangan kualitas guru."

Dirjen UNESCO Koichiro Matsuura menjelaskan kondisi kualitas pendidikan dan keaksaraan di negara-negara anggota E-9. Dia menyebutkan, sebanyak 67% kualitas pendidikan yang belum layak terdapat di sembilan negara tersebut. Selain itu, banyak anak yang belum memperoleh pendidikan. "Oleh karena itu, peran guru menjadi sangat penting."

Koichiro mengungkapkan, di negara-negara anggota E-9 masih kekurangan guru bidang sains dan matematika. Dia juga menekankan pentingnya pelatihan bagi guru, pembuatan standar, monitoring kebijakan dan evaluasi. "Inovasi pelatihan guru menggunakan pendidikan jarak jauh berdampak positif. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) perlu terus didukung," katanya.***

Sumber: Pers Depdiknas

Target EFA Dipercepat

Denpasar, Rabu (12 Maret 2008)--Para menteri pendidikan dari sembilan negara berpenduduk terbesar dunia (E-9) sepakat untuk memperkuat kerjasama dan mempercepat pencapaian target pendidikan untuk semua atau EFA (Education for All). Komitmen bersama ini untuk mencapai enam target EFA pada 2015.

Negara-negara anggota E-9 mewakili 60% populasi penduduk dunia. Sejak deklarasi Dakar, negara-negara ini telah mengalami kemajuan yang signifikan di bidang kesetaraan gender, memajukan pendidikan dasar, dan meningkatkan kualitas pendidikan. Pada saat yang sama, tantangan utamanya adalah dua pertiga penduduk usia dewasa buta huruf yang tinggal di negara E-9 (Bangladesh, Brazil, Cina, Mesir, India, Indonesia, Meksiko, Nigeria, dan Pakistan).

Terkait dengan fokus tema pada peningkatan pendidikan dan pelatihan guru, para wakil delegasi percaya tidak ada sistem pendidikan dapat meningkat tanpa guru yang berkualitas. Diyakini guru merupakan faktor kunci dalam meningkatkan kualitas pendidikan melalui pengajaran yang kompeten dan profesional.

UNESCO memperkirakan pada 2015 akan dibutuhkan sebanyak 18 juta guru sekolah dasar (SD) baru di seluruh dunia. Sebanyak tujuh juta atau empat puluh persennya terdapat di negara E-9. "Kita kekurangan jumlah guru yang memenuhi kualifikasi, " kata Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura saat memberikan keterangan pers usai penutupan pertemuan E-9 di Hotel Westin, Nusa Dua, Denpasar, Bali, Rabu (12/03/2008).

Koichiro menyampaikan, saat ini negara anggota E-9 berkonsentrasi untuk mencapai kebutuhan guru tersebut. Salah satunya diselenggarakan dengan melakukan kerjasama Selatan-Selatan. "Kerjasama dilakukan dengan berbagi pengetahuan dan best practices di bidang pendidikan," katanya.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, kebutuhan guru di Indonesia dari sisi rasio tidak buruk, tetapi permasalahannya adalah redistribusi guru. "Kewenangan tidak sepenuhnya berada di pemerintah pusat. Harus duduk bersama-sama, terutama dengan pemerintah kabupaten atau kota."

Pada acara E-9 yang dimulai dengan pertemuan pakar pada 10 Maret 2008, Bangladesh, Pakistan, dan India akan menjajagi kerjasama dengan Indonesia di bidang pendidikan dan pelatihan bagi guru.

Bambang menambahkan, salah satu kerjasama antar negara anggota E-9 adalah di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK). "Tidak hanya pembelajaran untuk siswa saja, tetapi untuk peningkatan kapasitas guru. Bidang ini sangat potensial untuk dilakukan kerjasama dan relatif mudah karena jaringan sudah tersedia. Selanjutnya adalah mengembangkan jaringan yang lebih besar antar sembilan negara ini."

Bambang menjelaskan, saat ini pemanfaatan TIK melalui pendidikan jarak jauh telah diselenggarakan di Universitas Terbuka dan beberapa perguruan tinggi (PT). Kegiatan teleconference yang tadinya beranggotakan tiga puluh PT, saat ini sudah lebih dari seratus PT. "Sekarang menjadi yang terbesar di kawasan Asia," katanya.

Dengan modal itu, kata Bambang, Indonesia siap melakukan kerjasama . "Di Cina sudah dilaksanakan secara ekstensif, lalu Meksiko, Brazil, dan India juga sudah. Sebagian besar anggota E-9 sudah melaksanakan, tinggal menghubungkan jaringan di masing negara, sehingga bisa berbagi."***

Sumber: Pers Depdiknas

Mobil Pintar Hadir di E-9 Ministerial Review Meeting

Denpasar, Selasa (11 Maret 2008)--Mobil pintar yang ditampilkan di halaman Hotel Westin mengundang perhatian peserta E-9 Ministerial Review Meeting. Peserta dari negara lain sangat antusias melihat mobil pintar yang dilengkapi dengan buku serta kegiatan anak-anak yang sedang belajar.

Usai pembukaan E-9 Ministerial Review Meeting, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla beserta peserta dan undangan meninjau beberapa mobil pintar dengan berbagai macam kegiatan, mulai dari aktivitas anak kecil bermain dan belajar, kegiatan penuntasan buta aksara, dan program kejar paket.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menjelaskan bahwa program mobil pintar bertujuan untuk membantu percepatan program belajar mengajar, khususnya untuk menjangkau daerah terpencil. "Selain mobil pintar, pemerintah juga mengadakan motor pintar. Setelah itu menyusul speed boat pintar dan helikopter pintar," ujar Bambang.

Menurut Bambang, mobil pintar dilengkapi dengan permainan, komputer, televisi, dan DVD. Selain dilengkapi dengan alat penunjang belajar dan bermain, mobil pintar juga dilengkapi dengan tenda yang bisa disusun sendiri, sehingga anak-anak bisa membaca dan bermain di bawah tenda ini beralaskan tikar atau matras.

Pameran mobil pintar merupakan rangkaian pameran E-9 Ministerial Review Meeting on EFA. Ibu Wapres Mufidah Kalla mengaku bangga dengan adanya mobil pintar untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Mobil ini merupakan prakarsa Ibu Negara yang dibina oleh istri-istri para menteri yang tergabung dalam Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB). "Semoga mobil pintar dapat menunjang program wajib belajar, pendidikan dan ketrampilan hidup, dan penuntasan buta aksara," kata Mufidah ketika membuka pameran E-9 Ministerial Review Meeting.

Baedhowi, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK) selaku Ketua Panitia Publikasi dan Pameran melaporkan bahwa pameran ini merupakan bagian kegiatan publikasi dalam menyebarluaskan informasi tentang pembangunan pendidikan, khususnya terkait dengan pengembangan mutu tenaga pendidik atau guru.

Selain dari dalam negeri, beberapa negara peserta E-9 juga berpartisipasi dalam pameran. Pameran ini menyajikan berbagai kebijakan peningkatan mutu pendidikan melalui berbagai program, antara lain peningkatan profesi guru, wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pemberantasan buta aksara, pendidikan ketrampilan hidup, dan penuntasan buta aksara.***

Sumber: Pers Depdiknas

Indonesia Jalin Kerjasama Pendidikan dengan Negara E-9

Denpasar, Rabu (12 Maret 2008) -- Indonesia menjalin kerjasama dalam bidang pendidikan dengan sembilan negara berpenduduk terbesar dunia (E-9). Indonesia akan mempelajari model dari negara lain dan sebaliknya model Indonesia dapat dikembangkan oleh negara lain.

Kesepakatan kerjasama antarnegara Selatan-Selatan ini merupakan salah satu dari Deklarasi Bali dari negara E-9. "Prinsipnya saling berbagi solusi yahg efektif dan inovatif dari masing-masing negara untuk dapat dikerjasamakan, " kata Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional ketika menjelaskan hasil pertemuan E-9 di Hotel Westin, Nusa Dua, Denpasar, Bali yang berlangsung 10-12 Maret 2008.

Fasli yang menjadi salah satu wakil delegasi dari Indonesia mengemukakan, pertemuan E-9 ke tujuh di Bali dianggap berhasil karena memberikan program aksi yang jelas dibandingkan pertemuan sebelumnya. Sebagai tuan tumah, selama dua tahun ke depan Indonesia membentuk sekretariat, berhubungan dengan sembilan anggota, dan mengorganisasikan program yang sudah disepakati bersama.

Fasli menyatakan, UNESCO regional dan di negara masing-masing wajib merancang dan menjalankan program yang sudah menjadi komunike dalam Deklarasi Bali. "Program kerjasama bisa berupa bilateral atau antarnegara. Sudah ada komitmen dari negara donor dan donatur lainnya untuk membantu negara E9 bergantung kepada program yang akan dikerjakan," ujar Fasli.

Terkait dengan kerjasama antarnegara, Fasli mencontohkan bahwa Nigeria dan Bangladesh tertarik untuk mempelajari program wajib belajar yang menggunakan peran pesantren. "Indonesia memiliki model yang dapat dicontoh oleh mereka karena sesuai dengan negara mereka."

Sebaliknya, Indonesia juga belajar dari negara anggota E-9. Dari Cina, Indonesia belajar bagaimana memberikan insentif kepada guru untuk tinggal di pedesaan. Dari Meksiko, Indonesia belajar begaimana guru diberdayakan melalui kurikulum yang sistemnya melibatkan peran serta guru. Sementara dari Brazil, Indonesia belajar bagaimana memberikan insentif kepada guru berdasarkan kinerja guru.

Menurut Fasli, Indonesia sudah menjalin kerjasama pendidikan dengan Cina. Sekarang tiap tahun Indonesia menerima 80 guru bahasa Mandarin yang dibiayai Pemerintah Cina untuk mengajar setahun di Indonesia. Guru dari Indonesia juga dapat belajar Bahasa Mandarin di Cina.

Saat ini Indonesia sedang menjajaki kerjasama dengan Mesir dalam pengembangan pendidikan anak usia dini. "Kami juga melakukan studi banding untuk mempelajari model pendidikan dari India," ujar Fasli. Sementara negara lain tertarik mempelajari model Indonesia dalam mengembangkan pola pendidikan jarak jauh. Melalui program ini, guru dapat belajar jarak jauh dengan bantuan multimedia.***

Sumber: Pers Depdiknas

Mendiknas Ketua E-9

Denpasar, Senin (10 Maret 2008) — Selaku tuan rumah, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menjadi Ketua pertemuan menteri–menteri pendidikan sembilan negara berpenduduk besar (E-9 Ministerial Review Meeting on Education for All). Pertemuan E-9 berikutnya akan diadakan pada 2010.

Ketua pertemuan E-9 sebelumnya di Monterrey, Meksiko pada 13-15 Februari 2006 adalah Menteri Pendidikan Meksiko Reyes Tamez Guerra. Pertemuan E-9 di Nusa Dua, Denpasar, Bali, berlangsung pada 10 hingga 12 Maret 2008. Mendiknas langsung memimpin diskusi yang membahas pengalaman masing-masing anggota dalam peningkatan pendidikan dan pelatihan bagi guru.

Dalam sambutan singkatnya, Bambang mengingatkan tiga isu pertemuan E9 ketujuh di Bali. Pertama, menemukan cara terbaik untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pelatihan guru. Kedua, meningkatkan peran UNESCO dan kerjasama Selatan-Selatan dalam pelatihan guru dan isu potensial lainnya.

Ketiga, tim ahli dari masing-masing negara berbagi pengalaman dalam kebijakan yang menjadikan guru sebagai profesi yang menarik. "Penting memikirkan pelatihan dan pengembangan karier bagi guru. Selain itu, perlu diperhatikan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi," kata Bambang.

Sebelumnya, mengawali agenda pertemuan antardelegasi, Aridjis Homero, Duta Besar Meksiko untuk UNESCO mengatakan, pada pertemuan E9 keenam di Meksiko telah merumuskan Deklarasi Monterrey. Pada deklarasi tersebut para menteri berkomitmen untuk mempercepat pencapaian tujuan EFA (Education for All). "Hal ini diupayakan dengan mempererat kerjasama Selatan-Selatan dengan negara-negara anggota E9 dan negara berkembang lainnya."

Aridjis mengatakan, pertemuan E-9 berada pada momen yang krusial. Saat ini, kata dia, telah mencapai separuh jalan untuk mencapai tujuan EFA. Peranan negara-negara anggota E-9 sangat berpengaruh ke seluruh dunia. "Di bawah kepemimpinan Indonesia, kita akan menemukan hal-hal yang inovatif untuk mencapai tantangan mendasar yaitu pendidikan untuk semua," katanya.***

Sumber: Pers Depdiknas